Rabu, 15 Desember 2010

Kongres Akuntan Indonesia, saat Etika dan Integritas seperti terabaikan



| 11 December 2010 | 08:52
ekonomi.kompasiana.com

Kemarin, saya sengaja diminta seorang kawan untuk datang ke hajatan besar profesi akuntan. Bernama Kongres Ikatan Akuntan Indonsia (IAI). Acaranya mengambil tempat di sebuah hotel ternama dekat bundaran HI. Sesampainya di lokasi, kawan saya diminta meng-update keanggotaan, untuk beroleh kalung peserta sekaligus pemilih. Yah hitung-hitung bayar tiket masuk ujarnya, saat dimintai uang iuran. Yang bikin saya berkernyit dahi, bukan soal uang iurannya semata yang nilainya lumayan. Tapi, juga banyaknya antrean pendaftaran baru maupun pembaruan keanggotaan.
Apa gerangan yang menjadikan mrereka sebegitu antusias ikut kongres IAI dan rela keluar ratusan ribu Rupiah ? Tak mungkin hanya sekedar mencari santap siang dan coffe break di hotel bintang lima. Tamu artis ternama pun tak ada. Yang terlihat cukup mencolok justru ratusan orang berbaju batik lengan pendek layaknya seragam PNS atau pegawai BUMN di hari Jumat.
Cukup lama saya mengamati kondisi yang mengusik nalar sehat itu. Keheranan saya terjawab saat mendengar obrolan diantara sebagian peserta. Orang-orang berkostum batik tadi ternyata (sengaja) “digerakkan” oleh kantornya. Tujuannya, untuk mendukung kandidat Ketua atau Anggota Dewan Pengurus Nasional (DPN) IAI. Alamak…PNS dan pegawai BUMN yang semestinya di jam kantor melakukan tugas negara ternyata malah kluyuran untuk “urusan” profesi pribadi pimpinannya.
Salah seorang diantara mereka akhirnya buka suara. Dia dan ratusan temannya yang berprofesi auditor pemerintah/Negara “ditugaskan” untuk memenangkan sang pimpinan sebagai Ketua IAI. Tak lupa ditunjukkan isi SMS daftar nama kandidat yang diinstruksikan untuk dipilih. Saat saya tanya, kenapa mau terima instruksi seperti itu, dia hanya tersenyum sembari berujar “maklum mas, kami ini kan PNS yang harus taat pada instruksi pimpinan”.
Sontoloyo, batin saya. Kalian kan mengaku memiliki profesi yang terhormat, sebagai Akuntan. Hanya kebetulan saja bekerja di Pemerintahan. Tapi, kenapa sikapnya mirip rombongan pendemo bayaran di Bunderan HI yang terima saja perintah teriak-teriak dari pemberi order ? Di mana nalar kritis kalian ?
Saking gemesnya saya iseng tanya lagi ke Akuntan plat merah ini “Mas, tahu ga kalau GOLKAR sudah bukan lagi pemenang Pemilu ?” Dia bilang tahu. “Tahu ga sekarang era reformasi ?” Jawabnya pun “tahu”. Lantas kenapa masih mau disuruh-suruh pimpinan yang jelas tidak ada kaitan dengan tugas negara, apa dikasih duit ?Ah,mana berani, Mas” ujarnya. Jadi kenapa ? “Mas kali lupa, kalau kami ini masih anggota KORPRI alias Korban Printah”..wuakakakak…pinter juga ngelesnya Akuntan ini.
Selepas sholat Jumat, kasak kusuk menjelang pemilihan DPN IAI makin intensif. Terpampang sosok kandidat Ketua DPN “murah senyum” yang saat ini menjabat kepala lembaga pemerintahan non departemen urusan pemeriksaan dan pengawasan keuangan negara. Di ujung lift, seorang gadis muda menyodorkan brosur kandidat muda yang menggotong jargon “reformasi”. Masih ada lagi kandidat dari petinggi BUMN migas yang tidak ketinggalan membawa massanya sendiri.
Beberapa diantara peserta berbatik terbersit kegundahan. Mereka merasa belum begitu mengenal sosok sang pimpinan, tapi sudah “diwajibkan” memilihnya. Demi alasan nama baik dan kebanggaan instansi kilahnya. Wuih enak betul ya. Lantas, bagaimana mereka yakin pimpinannya bakal kepilih? Enteng mereka berujar “kami peserta terbanyak di kongres ini, Mas”. “Memang berapa banyak rombongan kalian”, saya bertanya lagi. “ada lah bangsa 500-an”..”belum lagi nanti dapat dukungan dari Auditor plat merah lain” imbuhnya..”siapa” ? tanya saya…”tuh ! ”.
Jarinya menunjuk ke arah peserta yang melintas sambil tergopoh-gopoh menenteng segepok kartu anggota baru berikut tanda peserta kongres. Ada juga yang sibuk mendata anggota rombongan yang belum memperoleh kartu anggota dan tanda peserta. Sekilas terlihat daftar nama pegawai yang didaftarkan sebagai anggota dari berbagai unit kerja di instansinya. Saya tidak tahu, apakah sekarang setiap instansi Pemerintah memang mewajibkan akuntannya ikut IAI. Setahu saya, profesi akuntan sifatnya perorangan. Bukan perkumpulan pegawai instansi swasta apalagi pemerintah. Tapi, bisa jadi sayalah yang ketinggalan informasi.
Tak kuasa menahan penasaran, saya beranikan diri bertanya kepada mereka. “Kalau pegawai instansi seperti kalian, berapa bayar iurannya ?” Sambil cekikikan mereka nyahut..”kita dari kantor gratis koq Mas”..Busyet ! Tidak percaya dengan omongannya, saya menyambangi salah seorang Panitia..”koq mereka gratis tidak bayar iuran anggota ?”..”oh mereka diurusin kantornya” Saya nyela ”maksudnya (bener) dibayari kantornya ?” …”ya gitu deh”…alamak…Enak betul ya jadi Akuntan Negara. Jadi anggota profesi pun bisa dibayari pakai duit negara..hehehe…
Dari investigasi kecil-kecilan, saya akhirnya menemukan “benang merah” kehadiran rombongan akuntan-akuntan berbatik ini. Diantara mereka (ternyata) sudah ada pembicaraan di belakang layar untuk saling mendukung kandidatnya masing-masing. Sang Kepala, yang tidak pe-de menghadapi tokoh muda dan profesional BUMN, ternyata meminta bala bantuan dari koleganya sesama Akuntan plat merah.
“There’s no free lunch”. Dukungan tadi tentu saja berbalas dukungan untuk sang sekutu menempatkan orangnya. Meski hanya selevel Anggota DPN. Pokoknya mirip sekali dengan gaya partai politik yang mendukung pasangan capres/cawapres untuk berharap posisi anggota kabinet. Kalkulasi politik semacam itu bikin saya bingung. IAI ini isinya politisi atau profesional, sih ?
Maka, saat sorenya Ketua IAI terpilih adalah Kepala lembaga non departemen dan anggota DPN bersuara terbanyak berasal dari akuntan lembaga tinggi negara, saya mafhum adanya. Tak mungkin perseorangan mampu “mendoktrin” ratusan Akuntan untuk bersuara sama. Kalau dia tidak punya “alat paksa” bernama jabatan. Mana ada biaya untuk memobilisasi sekian banyak Akuntan untuk hadir serentak bagi seorang “freelancer” seperti kawan saya bila maju pemilihan, kalau tidak punya dukungan dana. Tak peduli, andai kata dana yang dipakai itu bisa dikategorikan sebagai uang negara.
Pada akhirnya saya merenung. Apakah keharusan untuk tertib memakai kewenangan dan uang negara hanya berlaku bagi para Auditee mereka ? Lantas,  andai kedua institusi tertinggi di bidang pemeriksaan dan pengawasan keuangan negara tidak konsekuen dengan ajarannya, siapa yang bisa mengontrol ? Tatkala pegawai Pemda keluyuran saat jam kantor ditangkap satpol PP, lalu siapa yang bakal menangkap ratusan Akuntan Negara yang siang ini keluyuran di hotel untuk kepentingan pribadi mereka sendiri?
Sepulang dari kongres, kebanggaan teman saya terhadap organisasi profesinya mulai meluntur. Bagaimana bisa IAI mendapatkan tokoh pembaharu, kalau mekanisme pemilihan Ketua dan Anggota DPN-nya cenderung menguntungkan calon dari institusi yang memiliki akuntan bejibun, seperti BPK dan BPKP ? Apa akuntan di kedua institusi itu masih kurang sibuk, hingga pejabatnya masih perlu tambahan kesibukan baru seraya rela untuk mengerahkan massa ?
Saya sendiri tidak anti dengan namanya Akuntan plat merah. Banyak diantaranya yang memiliki kemampuan mengagumkan. Tapi, apa artinya itu semua, kalau “mind set” mereka masih seperti layaknya PNS zaman Pak Harto, yang diperintah apa saja manut ? Menikmati hidup dalam kekangan kemauan pimpinan, jadi “budak nafsu” atasan, layaknya olok-olok Korpri adalah “Korban Perintah” tadi? KatanyaPNS  sudah reformasi birokrasi ?
Peranan Akuntan non Pemerintah di IAI mestinya dioptimalkan. Sebagai alat kontrol “perilaku” Akuntan Pemerintah yang seringkali “abuse of power” alias mau menangnya sendiri. Tapi alih-alih jadi alat kontrol, yang terjadi adalah Akuntan Pemerintah justru makin mendominasi segala lini kebijakan akuntansi. Posisi sentral inilah yang pada akhirnya beresiko timbul“power tends to corrupt”. Hanya berpindah waktu dan tempat. Dari semula pagi di kantor instansi, menjadi sore/malam di kantor organisasi.
Masyarakat pantas khawatir bila IAI lambat laun menjelma sebagai lembaga birokrasi baru. Struktur organisasi dilebarkan, bukan semata karena beban kerja. Melainkan untuk back up mengisi potensi kekosongan, manakala anggota DPN ada yang sukses lompat posisi di pemerintahan/BUMN. Organisasi layaknya kendaraan penjangkau jabatan atau akses ke lini Pemerintahan. Selama kesempatan itu belum kesampaian, organisasi tetap bisa dipakai sarana mencari order kerja dan proyek. Dan tak lupa cantolan nama, koneksi pejabat, yang semuanya bernuansa “profit oriented”.
Tak terhitung suara nyinyir yang memandang IAI tak ubahnya lembaga penuh “kepentingan”. Dari sekedar kepentingan cari bahan skripsi sampai slentingan “nitip” standar akuntansi. Awalnya saya tak percaya. Tapi pengalaman pribadi sulit rasanya melawan pandangan tadi.
Dari proses pemilihan Ketua DPN IAI yang hari ini saya datangi, ada beberapa kondisi yang bisa menebarkan aroma perilaku tak beretika dan tak berintegritas, setidaknya :
1. Peserta kongres tidak dibatasi masa pendaftaran keanggotaanprofesinya. Semestinya DPN IAI tidak membuka/menerima pendaftaran anggota baru menjelang atau pada saat kongres. Karena agenda utamanya memilih Ketua/Anggota DPN baru. Situasi begini rawan dimanfaatkan. Kebijakan seperti itu perlu dilakukan guna menghindari pemilih “dadakan” dan “siluman” yang rajin muncul pada saat pemungutan suara. Di pelaksanaan Pilkada hal ini sudah diterapkan. Para pamong  tidak  berani seenak hati menerbitkan KTP baru di masa-masa kampanye calon pimpinan daerah.
2. Tidak ada paparan visi dan misi serta program dari para kandidat ketua DPN. Atau mungkin karena para kandidat sudah bisa mendatangkan ratusan pegawai kantornya, sehingga tidak perlu lagi repot-repot meyakinkan Anggota IAI yang akan memilihnya.
3. Pelaksanaan pemilihan Ketua DPN dilakukan saat hari/jam kerja. Hal ini bisa mendorong timbulnya penyalahgunaan jabatan dan kewenangan. Para pegawai/bawahan pun tidak punya pilihan untuk hadir atau tidak hadir, jika tidak ingin dianggap mangkir. Konyolnya, kendaraan dinas kantor pun turut digunakan demi menyukseskan ambisi dan kepentingan sang pimpinan. Lebih gila lagi, untuk datang ke kongres beberapa peserta disinyalir mendapat uang perjalanan dinas dari Negara. Subhanallah ! Saya yakin kalau pelaksanaan pemilihan Ketua DPN di kongres IAI kemarin dilakukan saat hari libur, hasilnya akan berbeda. Hanya mereka yang benar-bener niat sukarela tanpa paksaan lah yang akan hadir di kongres.
4. Organisasi menikmati kondisi yang tidak mencerminkan “pengendalian intern”, yang selama ini jadi jargon sebagian besar Akuntan. Malam tadi IAI jelas meraup ratusan juta uang iuran keanggotaan. Meski sebagian diantaranya seumur-umur jadi Akuntan belum pernah tahu dimana kantor IAI. Tak peduli juga kalau uang iuran itu sepantasnya tidak diterima, karena bisa “mendzalimi” kandidat yang berniat mulia ke organisasi. Organisasi seolah tutup mata, kalau uang iuran untuk melegalisir pemilih “musiman” atau malah “siluman”. Pokoknya bayar, habis urusan. Yang penting duit !
5. Tidak ada cek yang memadai atas kebenaran data peserta kongres. Jadi, jangan kaget andai ada cleaning service hotel yang tidak tahu apa itu akuntan, asal bisa nulis angka di kolom register, langsung bisa dapat tanda peserta kongres.
So, kejadian di kongres IAI hari ini memberikan pelajaran berharga bagi masyarakat seperti saya. Bahwa sangat tidak mudah menjalankan apa itu etika dan integritas, terutama bagi diri sendiri. Akuntan boleh sangat persisten menerapkan standar profesionalisme dengan mengagung-agungkan kedua hal di atas. Plus, sangat rewel soal “pengendalian intern” ke Auditeenya. Tapi, saat menyangkut kepentingan mereka sendiri, ternyata hal-hal tersebut bisa begitu saja diabaikan.
Saya jadi salut dengan tukang ojek di ujung gang rumah. Mereka bisa lebih bijak memilih siapa yang pantas jadi pimpinan daerahnya. Tidak asal menerima order pemenangan salah satu kandidat. Meski sudah terima uang transport dan kaos kampanye. Merekapun bisa kepikiran mengadu ke MK, bila hasil pemilihan ternyata tidak fair dan penuh intrik. Kebebasan dan keberanian berpikir seperti itu  yang semalam nisbi di sebagian besar akuntan peserta kongres.
Saat kami asyik merenung..tiba-tiba plung !..Tak sengaja kartu anggota IAI teman saya seharga ratusan ribu di saku baju terjatuh ke selokan depan rumahnya.

Jumat, 03 Desember 2010

Kasus HIV/AIDS di Indonesia 22 Ribu Lebi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Menko Kesra Agung Laksono mengatakan, hingga 30 September 2010 jumlah kasus AIDS secara kumulatif tercatat 22.726 kasus yang tersebar di 32 propinsi di 300 kabupaten/kota. "Dari jumlah itu, masih didominasi oleh kelompok usia produktif yakni (20-29) 47,8 persen, kelompok umur (30-39) 30,9 persen, dan kelompok umur (40-49) sebanyak 9,1 persen," ungkapnya.
Agung menambahkan, kasus terbanyak terjadi di sepuluh propinsi yakni DKI Jakarta, Jawa barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Papua, Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara dan Riau. Sedangkan cara penularan terjadi melalui hubungan heteroseksual (51,3 persen), pengguna narkoba suntik (39,6 persen), lelaki seks lelaki (3,1 persen) dan ibu pengidap kepada bayinya (2,6 persen).
Ia mengemukakan hal itu pada peringatan puncak Hari Kesehatan Nasional ke-46 dan peringatan puncak Hari AIDS se-Dunia di Jakarta, Jumat. Hadir dalam acara itu Menteri Kesehatan Endang Sedyaningsih, Menteri Pendidikan Nasional M Nuh, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan Linda Gumelar.
Pada kesempatan itu, Wapres Boediono menyerahkan penghargaan kepada individu dan institusi yang berjasa di bidang kesehatan. Tanda penghargaan Manggala Karya Bakti Husada Aditya diberikan kepada daerah Kabupaten Sleman, Pemerintah Kabupatebn Lumajang, Pemerintah DI Yogyakarta. Sedangkan Tanda Penghargaan Ksatria Bakti Husada Aditya diberikan kepada Kepala Daerah Gubernur Maluku dan Walikota Metro Lampung.

Tiga Termuda di Daftar Terkaya

Tiga Termuda di Daftar Terkaya

Siapa saja orang-orang muda di daftar 40 terkaya majalah Forbes Indonesia? Ada dua orang yang masih berusia 30-an tahun, dan seorang berusia 41 tahun.
Di posisi 20 ada Ciliandra Fangiono, 34 tahun, dengan kekayaan sebesar USD 1,1 miliar. Dia mengepalai First Resources yang mengelola 100 ribu hektar lahan minyak kelapa sawit di Sumatra dan Kalimantan. Bersama sejumlah saudaranya, Ciliandra menguasai 85 persen saham perusahaan itu. First Resources didirikan Martias, ayah Ciliandra, yang sejak 2003 tak banyak melibatkan diri di perusahaan itu.
Agus Lasmono Sudwikatmono, 39 tahun, memiliki kekayaan sebesar USD 845 juta. Dia adalah wakil presiden komisaris di Indika Energy, penambang batu bara. Agus adalah putra eksekutif papan atas dari grup Salim, Sudwikatmono--sepupu mantan presiden Soeharto.
Lalu ada Sandiaga Uno, 41 tahun. Ia tercatat berkekayaan USD 795 juta, hampir dua kali lipat tahun sebelumnya yang USD 400 juta. Ia ikut mendirikan Saratoga Capital bersama Edwin Soeryadjaya (di posisi 13 terkaya) pada 1998. Ia juga turut mengangkat Adaro Energy ke salah satu perusahaan penambang batu bara kedua terbesar di Indonesia. Tahun ini, ia sempat mencalonkan diri menjadi kepala Kamar Dagang Indonesia, tapi gagal.

Kamis, 02 Desember 2010

Makan di Warteg Langsung Kena Pajak

Makan di Warteg Langsung Kena Pajak 


Hery Winarno/detikcom

Jakarta - Untuk menggenjot pendapatan asli daerah (PAD) Pemprov DKI Jakarta akan mengenakan pajak restoran kepada pengusaha warteg. Pungutan sebesar 10 persen dari total pembayaran usai pelanggan menikmati hidangan di warteg.

Tidak ada struk khusus dalam pajak warteg ini, Pemprov DKI Jakarta menggunakan sistem 'self assesment' untuk menarik pajak tersebut.

"Jadi kita gunakan sistem 'self assesment', artinya pengusaha warteg sendiri yang membayarkan nilai pajaknya ke kas daerah. Jadi setiap pelanggan makan langsung kena pajak 10 persen, pajak itu dikumpulkan dan tiap bulan diserahkan ke kas," ujar Kepala Bidang Peraturan dan Penyuluhan Dinas Pelayanan Pajak Provinsi DKI Jakarta, Arif Susilo, kepada detikcom, Rabu (1/12/2010).

Sebelum hal tersebut dilakukan jajaran Dinas Pelayanan Pajak DKI terlebih dahulu akan melakukan pendataan terhadap warteg yang bisa dikenakan pajak. Warteg yang akan dikenakan pajak, adalah yang beromzet lebih dari Rp 60 juta pertahunnya.

"Pengusaha warteg menghitung sendiri pajaknya, tiap bulan dia akan menyetorkan pajaknya ke Badan Pengelolaan Keuangan Daerah dengan menyerahkan surat setoran pajak daerah (SSPD). Uang tersebut akan masuk ke kas daerah dan akan digunakan untuk kepentingan daerah," terangnya.

Arif mengimbau agar pengusaha warteg yang memiliki penghasilan di atas Rp 60 juta per tahun, sukarela mendaftarkan dirinya ke Dinas Pelayanan Pajak. Kemudian, pihaknya akan melakukan pemantauan dan monitoring dengan melihat catatan keuangan pengusaha warteg tersebut.

“Jika mereka memenuhi syarat, kita berikan nomor pokok wajib pajak daerah (NPWPD). Nanti mereka memberikan setoran pajak ke kantor Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD), melalui unit kas daerah yg ada di kecamatan. Nanti kita akan kembangkan lagi kantor-kantor ini agar ada di seluruh kecamatan,” tandasnya.

Pajak restoran yang akan dikenakan kepada warteg ini berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 22 dan 23 UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menjadi payung hukum bagi Pemprov DKI Jakarta mengenakan pajak restoran sebesar 10 persen untuk warteg.

Berikut bunyi pasal 22 dan 23 UU No 28/2009 tentang Pajak Daerah:

Pasal 22 Pajak Restoran adalah pajak  atas  pelayanan yang disediakan oleh restoran.

Pasal 23 Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering.